Senin, 05 Desember 2016

Walimatul Hamli Dalam Balutan Tradisi Jawa, Kajian Antropologis



WALIMATUL HAMLI DALAM BALUTAN TRADISI JAWA
(Studi Kasus di Keluarga Ibu Zakiyah Desa Margoagung Kec. Sumberrejo Kab. Bojonegoro)

Jurnal Laporan Penelitian Lapangan

Disusun Guna Memenuhi Tugas UAS
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus
Jurusan Ushuluddin
Prodi Ilmu Qur’an & Tafsir
2016


Mata Kuliah : Antropologi Al-Quran
Dosen Pengampu : Efa Ida Amaliyah, MA.
Oleh: Mohammad Salahuddin Al-Ayyuubi
NIM: 1330110015

Metodologi
Jenis Penelitian ini adalah kualitatif. Data diambil langsung ke sumber primer dengan cara observasi dan wawancara di rumah keluarga ibu Faridatuz Zakiyah yang tengah mengandung calon anak pertamanya. Adapun pemaknaan terkait tradisi yang dilakukan diambil dari sumber data sekunder, yakni penelitian terdahulu terkait tradisi kehamilan, mengingat keterbatasan pemahaman keluarga si ibu hamil dalam memaknai prosesi yang dijalani. Foto kegiatan walimah ataupun segala kelengkapannya (ubarampe) tidak disajikan mengingat keterbatasan media yang dimiliki peneliti. Analisis data menggunakan Pendekatan Fungsionalisme model Malinowski, berpadu dengan teori internalisasi budaya.

Walimatul Hamli dalam Islam
Allâh SWT menurunkan Islâm, yang berisi aturan-aturan hidup yang sangat lengkap dan sempurna kepada kita. Dalam permasalahan penjagaan keselamatan anak (janin yang dikandung) dari gangguan setan (yang mereka istilahkan ruh-ruh jahat dalam upacara adat yang biasa dilakukan), jauh sebelum kehamilan sang anak, Islâm telah menetapkan tata cara yang baik dalam pergaulan suami istri. Islâm menuntunkan agar setiap hamba senantiasa berupaya untuk terus mendekatkan dirinya kepada Dzat yang telah menciptakannya dan memberikan nikmat kepadanya. Karena itu yang paling utama untuk dilakukan oleh seorang ibu selama masa kehamilannya adalah memperbanyak taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allâh swt. dengan ibadah seperti shalat, do’a, dzikir dan membaca al-Qur’ân. Ini penting sekali untuk menambah bekal keimanan seorang ibu, yang dengan iman tersebut insya Allâh ia akan siap dalam menghadapi segala keadaan.[1]
Menurut Fazlurrahman, tradisi Islâm bisa terdiri dari elemen yg tidak islami, yang tidak ada dasarnya dalam alQur’ân dan al-Sunnah. Jadi perlu dibedakan antara Islâm itu sendiri, sejarah Islâm atau tradisi Islâm. Ajaran Islâm yg termuat dalam al-Qur’ân dan Hadîts adalah ajaran yang merupakan sumber asasi dan ketika sumber itu digunakan atau diamalkan dalam suatu wilayah -sebagai pedoman kehidupan, maka bersamaan dengan itu tradisi setempat bisa saja mewarnai penafsiran masyarakat lokalnya. Karena penafsiran itu bersentuhan dengan teks suci, maka simbol yang diwujudkannya juga merupakan sesuatu yang sakral.[2]

Tradisi Jawa Terkait Kehamilan
Yusno Abdullah Otta dalam menggenapi pemikiran Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa dalam pandangan tradisionalis, tradisi, beserta nilai dan ajarannya, bersifat perennial. Tradisi adalah, meminjam istilah Charles Taylor, sources of the self, sebagai ‘sesuatu’ yang sulit untuk dilepaskan dari unsur universalitasnya. Tradisi dalam kehidupan sosial budaya menjadi bingkai bagi setiap masyarakat dalam mengekspresikan kehidupan sosial mereka. Bangunan kehidupan sosial suatu masyarakat, hampir bisa dipastikan, bersumber dari tradisi. Sehingga, tradisi digambarkan ibarat sebuah pohon rindang yang memberi naungan kepada siapa saja yang datang untuk berteduh di bawahnya dari sengatan terik matahari.[3]
Di beberapa daerah di Indonesia, proses kehamilan mendapat perhatian tersendiri bagi masyarakat setempat. Harapan-harapan muncul terhadap bayi dalam kandungan, agar mampu menjadi generasi yang handal dikemudian hari. Untuk itu, dilaksanakan beberapa tradisi yang dirasa mampu mewujudkan keinginan mereka terhadap anak tersebut. Diantara tradisi tersebut adalah upacara  neloni, mitoni/tingkeban. Neloni sendiri berasal dari kata telu yang artinya tiga. Sedangkan mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh Ini dimaksudkan bahwa neloni atau pun mitoni/tingkeban adalah ritual yang dilaksanakan pada saat bayi menginjak usia tiga atau tujuh bulan dalam kandungan.[4]

Menimbang Porsi Akulturasi Dua Budaya
Menurut Chafid dan Asror, ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat bila ajaran itu telah mentradisi dan membudaya di tengah masyarakat Islam. Tradisi dan budaya menjadi sangat menentukan dalam kelangsungan syiar Islam ketika tradisi dan budaya telah menyatu dengan ajaran Islam. Karena tradisi dan budaya merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, dan mengubah tradisi adalah sesuatu yang sangat sulit. Maka suatu langkah bijak ketika tradisi dan budaya tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi justru tadisi dan budaya sebagai pintu masuk ajaran Islam, misalnya tradisi mithoni yang dilaksanakan oleh sebagian umat Islam di Jawa.[5]
Islâm mengajarkan kemurnian dalam berbagai segi termasuk dalam manifestasi ajaranajaran Islâm, karena Islâm mempunyai komitmen (qâ’idah), "Jika sesuatu yang halal digabung dengan yang haram maka akan dimenangkan yang haram". Dalam pandangan fiqh, tradisi budaya acara tasyakuran tidaklah bertentangan dengan syarî’at Islâm, sebab tasyakuran tersebut termasuk salah satu jenis walîmah yang dianjurkan oleh ajaran Islâm. Bila mitoni (dengan segala rangkai prosesinya) itu diyakini dan atau dikaitkan dengan agama, sehingga menyebabkan ketakutan jika tidak melaksanakannya, maka hal ini jelas menyimpang dari syariat Islâm. Karena Allâh tidak mensyariatkan hal tersebut sehingga akan mengarah pada upaya muhdatsatul umur atau menambahi agama dan tergolong bid'ah yang sesat. Akan tetapi, jika acara ini tidak diyakini sebagai bagian dari ibadah maka para ulama mempunyai pendapat yang berbeda. Sebagian ulama melarang jenis ritual seperti ini, karena tidak ada syarî’at yang mendasarinya. Tujuannya tak lain untuk membendung rusaknya agama.[6]

Perubahan Tradisi Jawa, Studi Kasus di Desa Margoagung
Zakiyah adalah seorang ibu muda yang mengenyam pendidikan tinggi dan dididik dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan tinggal di Desa Margoagung yang mayoritas penduduknya keturunan Jawa asli. Memasuki masa kehamilan empat bulan, Ia bingung memilih antara melaksanakan tasyakkuran kehamilannya sebagaimana yang diajarkan oleh Islam –yakni menyambut ditiupnya ruh saat janin usia 120 hari atau empat bulan- atau menyesuaikan dengan tradisi leluhur Jawa yang lebih menekankan slametan tujuh bulan alias mitoni. Pasalnya, ibu Zakiyah tidak berkecukupan bilamana melaksanakan keduanya sekaligus. Maka diambillah jalan tengah, yakni dilakukan pada hari Rabu Pahing pertama setelah sempurna empat bulan kehamilannya.[7]
Pemilihan hari Rabu Pahing berdasar pada hari pasaran kelahirannya dulu, yang mana hal ini berarti merangkap bancakan weton. Hal ini wajar, karena sesuai dengan pendapatnya Dhanu Priyo Prabowo bahwa Semua perilaku orang Jawa selalu bertumpu pada keyakinan yang bersifat religius. Rasa religius itu dapat dilihat dalam tradisi Jawa yang berhubungan dengan kelahiran, kematian atau dalam kehidupan keseharian seperti bercocok tanam, mendirikan bangunan rumah, memulai suatu kerja penting dan sebagainya. Dalam keadaan seperti itu, orang Jawa selalu melakukannya dengan dasar perhitungan yang cermat dengan landasan keyakinan supranatural sejalan dengan perkembangan dan perjalanan paham ketuhanan masyarakat Jawa (sejak zaman animisme, Hindu, Budha, Islam dan sebagainya, hingga berkembang menjadi kepercayaan yang dinamakan Kejawen.[8]
Berbeda dengan masyarakat di Desa Selandaka Sumpiuh Banyumas yang dalam ritual tujuh bulan kehamilan dibacakan tiga surat, yakni Yusuf, Luqman dan Maryam[9], maka di Margoagung hanya populer pembacaan dua surat saja mengecualikan Luqman, dengan motivasi agar sang anak kelak setampan Nabi Yusuf bila lahir laki-laki atau secantik Maryam bila perempuan. Khusus di keluarga ibu Zakiyah, si ibu hamil lebih memfokuskan diri membaca surat Yusuf sebab jenis kelamin janin diyakini laki-laki berdasar penuturan dukun bayi setempat serta hasil USG yang telah dilakukan. Adapun pembacaan surat Yusuf tersebut dilakukan setiap hari sejak awal kehamilan dan lebih seringnya setelah salat maktubah yang waktunya cukup longgar. Sedangkan dalam ritual walimatul hamli tidak ada pengulangan membaca baik oleh si ibu hamil maupun tamu dan tetangga yang diundang. Pembacaan surat Yusuf oleh si ibu hamil juga termotivasi agar lebih sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan si janin sehingga sang ibu juga tidak terlalu stres sebab kondisi tubuhnya yang sering labil.
Walaupun yang dikandung adalah anak pertama, tradisi Jawa seperti siraman air kembang dan penyiapan batik tujuh motif tidak dilakukan. Alasan yang paling utama tidak diadakannya siraman adalah kesadaran religius si ibu hamil bahwa selain mubazir, prosedur siraman yang biasanya dilakukan di luar rumah dengan berbalut kain jarik saja dan ditonton banyak orang bisa menimbulkan dosa sebab telah mengumbar aurat si ibu hamil.[10]
Alasan religiusitas tersebut benar adanya karena beberapa waktu sebelumnya ada tetangga yang melakukan ritual siraman sebab tingkat pemahaman agama yang berbeda dengan keluarga ibu Farida yang kesemuanya pernah mengenyam pendidikan madrasah ataupun pesantren. Adapun alasan tidak dilaksanakannya penyiapan tujuh macam kain batik lebih disebabkan karena tradisi tersebut sudah tak begitu populer di sekitar lokasi. Hal ini bisa dan sangat mungkin terjadi karena sebagaimana ditulis oleh Duwi Fitrianasari bahwa seiring perkembangan zaman menuju pada era dimana masyarakat mulai berfikir secara logis dan ilmiah serta meninggalkan hal-hal yang bersifat mistisme, tradisi pun mulai mengalami perubahan bahkan terkadang dilupakan. Hal ini dikarenakan tradisi Jawa yang notabene memiliki aturan-aturan yang detail dan penuh ritual membuat masyarakat modern yang terkenal dengan masyarakat logis dan senang dengan hal-hal yang praktis mulai meninggalkan beberapa aturan dalam sebuah tradisi atau bahkan tidak memperhatikan tradisi dalam segi kehidupan mereka. Akibatnya, pengetahuan mengenai makna simbol yang terdapat pada upacara mithoni sedikit banyak berkurang dan bahkan banyak yang masyarakat menjalankan tradisi mithoni akan tetapi tidak mengetahui makna yang tersirat dibalik simbol-simbol dalam tradisi mithoni.[11]
Adapun terkait kelengkapan slametan (ubarampe) yang disiapkan keluarga ibu Zakiyah bersamaan dengan walimatul hamli adalah: (1) Bubur putih dengan gula merah cair yang beralaskan daun pisang, (2) Pasung berbungkus daun nangka, (3) rujak buah yang beralaskan dua buah cobek, (4) nasi aking atau karak di atas nampan ambengan, (5) tumpeng berbungkus daun pisang tujuh buah yang berisi telur ayam kampung rebusan, (6) air dalam dua cawan berpenutup daun talas, serta (7) nasi kebuli kuning beserta ingkungnya.[12] Yang cukup menarik tentunya adalah penyembunyian telur ayam kampung di dalam tumpeng yang berdasar pada kepercayaan bahwa siapa saja dari tamu undangan yang belum memiliki anak, bisa ‘mencuri’ telur tersebut agar istrinya segera bisa hamil. Kemustajaban berkah telur tersebut hanya bila dilakukan pengambilannya tanpa ketahuan oleh si tuan rumah, misalnya saat membagi ambengan. Jika prosesnya dengan meminta atau dengan izin yang punya hajat malah tidak makbul. Hal ini tentunya sangat jauh dari kata ilmiah dan rawan bertentangan dengan syariat.
Menilik jenis ubarampe yang disiapkan di atas bisa dilihat bahwa ada beberapa kelengkapan slametan dalam tradisi Jawa asli yang tidak diikutkan, di antaranya adalah sesajen ‘memetri’ yang mestinya disebarkan di tempat-tempat sekitar yang dianggap keramat atau di perempatan jalan.[13] Selain itu juga tidak ada jajan ‘anak-anakan’ sepasang dikarenakan pemahaman keluarga ibu Zakiyah bahwa membuat apapun yang menyerupai fisik makhluk hidup (apalagi manusia) dilarang dalam Islam. Dengan kata lain, yang disiapkan sebagai kelengkapan slametan walimatul hamli ibu Zakiyah adalah yang menurutnya bermanfaat.
Malinowski lewat pendekatan fungsionalisme yang digagasnya menganggap semua unsur kebudayaan itu akan bermanfaat bagi masyarakat setempat karena fungsi dalam satu unsur budaya adalah untuk memenuhi beberapa kebutuhan masyarakat itu sendiri.[14] Dengan pelaksanaan ritual tertentu, kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi. Sama halnya dengan prosesi walimatul hamli dalam balutan tradisi Jawa yang diadakan oleh keluarga ibu Zakiyah dan tampaknya memang dilatarbelakangi oleh manfaat spiritual-sosial yang dirasakan dan kepercayaan bahwa nulayani adat bisa menyebabkan ketidakharmonisan dengan tetangga sekitar. Tradisi Jawa dilakukan dan dipertahankan hanya jika tidak bertentangan dengan syariat Islam. Buktinya, sesaji ataupun kemenyan yang biasanya juga disebarkan di beberapa tempat sekitar rumah dalam tradisi Jawa asli nyatanya tidak disiapkan oleh keluarga ibu Zakiyah. Perubahan tradisi tersebut menurutnya karena faktor adanya kesadaran spiritual, tentunya tanpa mengabaikan alasan kepraktisan ala masyarakat modern.
Eksistensi tradisi Jawa di Desa Margoagung tersebut hampir senada dengan yang terdeteksi di Kampung Jawa Tondano. Dalam penelitiannya, Yusno Abdullah Otta menyatakan bahwa arus modernisasi, pada kenyataannya tidak banyak memberikan pengaruh signifikan bagi masyarakat Kampung Jawa Tondano dalam melestarikan tradisi-tradisi keagamaan mereka. Semua tradisi di Kampung Jawa Tondano ini hingga sekarang masih dilaksanakan secara konsisten oleh warganya. Meskipun, terdapat beberapa perubahan dalam pelaksanaan tradisi tertentu, akan tetapi perubahan tersebut tidak sampai menyentuh ranah substansial. Bagi warga, tidak ada halangan yang menjadi alasan untuk tidak melaksanakan tradisi-tradisi tersebut, meskipun dalam setiap pelaksanaannya hanya dihadiri oleh generasi tua. Karena, mereka telah merasakan manfaat tradisi-tradisi tersebut sebagaimana yang telah dirasakan oleh para pendahulu mereka pada masa-awal keberadaan mereka di tanah asing, Tondano, Minahasa. Karenanya, bagi warga Kampung Jawa, tradisi keagamaan bukan saja menjadi simbol identitas mereka sebagai Muslim, akan tetapi tradisi-tradisi keagamaan tersebut merupakan symbol kerukunan antara warga Kampung sendiri serta dengan warga masyarakat yang berdomisili di sekitar Kampung.[15]

Internalisasi
Internalisasi adalah penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Secara etimologis, internalisasi menunjukkan suatu  proses. Dalam  kaidah  bahasa Indonesia, internalisasi berarti proses. Selanjutnya Internalisasi diartikan sebagai penghayatan, pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui binaan, bimbingan dan sebagainya. Pengertian lain Internalisasi yang lebih sederhana adalah penyerapan dan penghayatan. Internalisasi merupakan upaya penghayatan nilai ke dalam diri seseorang sehingga akan  membentuk watak dan  perilakunya.[16] Dalam kasus ini ibu Zakiyah sebagai seorang pemeluk Agama Islam sekaligus bersuku Jawa telah melakukan internalisasi tradisi masing-masing dengan mempraktekkannya dalam satu kesempatan sekaligus. Walimah yang dalam Islam hanya identik dengan mengundang tetangga sekitar dalam rangka doa dan makan bersama, dibalut dengan kearifan lokal yang diteladankan turun temurun. Berdasar yang dipahami oleh ibu Zakiyah bahwa tradisi Jawa kuno sangat dipengaruhi oleh budaya (agama) Hindu serta kepercayaan lokal animisme-dinamisme, maka unsur-unsur yang terkait dengan budaya non-Islami tersebut harus ditinggalkan sehingga tercapailah kompromi dua tradisi yang tidak bertentangan, yakni Islam dan Jawa.

Simpulan
Istilah neloni, mitoni atau pun tingkeban tidak ditemukan dalam Islâm, kecuali istilah walîmatul haml. Tasyakuran walîmat al-haml  lebih afdhol jika dilaksanakan pada saat usia kehamilan sang ibu menginjak bulan keempat dan ritual tersebut dapat dibenarkan selama masih berdasar pada nilai-nilai agama Islâm, seperti pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’ân, pembacaan doa dan sebagainya.
Dalam rangka mengambil jalan tengah pelaksanaan tasyakkuran kehamilan anak pertamanya, ibu Zakiyah mengadakan walimatul hamli setelah habis masa empat bulan kehamilan awal dengan mengundang tetangga sekitar untuk doa bersama dengan cara Islam. Adapun unsur tradisi Jawa yang diinternalisir adalah 1) waktu slametan, yakni malam Rabu Pahing disesuaikan dengan tiron (hari pasaran lahir) si ibu hamil; 2) sajian untuk tamu meliputi: bubur, pasung, rujak , karak, tumpeng berisi telur, air beserta daun talas, dan nasi kebuli kuning. Penjagaan tradisi Jawa tersebut dilakukan sebab ibu Zakiyah merasa mendapat manfaat spiritual-sosial, yakni mempererat kerukunan warga, khususnya yang dilibatkan dalam slametan baik sebagai tamu undangan maupun tenaga bantu masak dalam persiapan kelengkapan slametan.
Dalam penakaran porsi akulturasi, yang diunggulkan oleh keluarga ibu Zakiyah adalah tradisi Islam, bahkan pembacaan surat Yusuf dilakukan setiap hari oleh calon ibu. Adapun tradisi Jawa hanya dipilih yang sekiranya tidak berkesan mubazir dan tidak menentang syariat Islam.










DAFTAR PUSTAKA
Aldy Selania Muhammad Daniel Safira, Tradisi Mapati dan Mitoni Masyarakat Jawa Islam, Proceeding the 5th International Conference on Indonesian Studies: Ethnicity and Globalization, t.th, hlm. 21-31.
Dinka Retnoningsih, Kajian Folklor Rangkaian Upacara Adat Kehamilan sampai dengan Kelahiran Bayi di Desa Borongan Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten, Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta, 2014.
Duwi Fitrianasari, Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Mithoni di Desa Brani Kecamatan Sampang Kabupaten Cilacap, Skripsi IAIN Purwokerto, 2016.
Iswah Adriana, “Neloni, Mitoni atau Tingkeban: (Perpaduan Antara Tradisi Jawa dan Ritualitas Masyarakat Muslim)”, Jurnal Karsa, Vol. 19 No. 2 Tahun 2011: 237-247.
Munafiah, Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Ritual Tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh Kec. Tengaran Kab. Semarang Tahun 2011, Skripsi STAIN Salatiga, 2011.
Nurul Fitroh, Ritual Tingkeban dalam Perspektif Aqidah Islam (Studi Kasus di Kelurahan Srondol Kulon Kecamatan Banyumanik Kota Semarang), Skripsi UIN Walisongo, 2014.
Robert Tajuddin, Agus Trilaksana, “Analisa Perubahan Tradisi Ritual Sedekah Bumi di Kota Metropolitan Surabaya: Analisa Perubahan Tradisi Ritual Sedekah Bumi di Dusun Jeruk Kelurahan Jeruk Kecamatan Lakarsantri Kota Surabaya Tahun 1990-2014”, Avatara e-Journal, Vol. 3 No. 3 Oktober 2015: 429-439.
Siti Nur Laila, Relevansi Tradisi Tingkeban terhadap Hukum Islam di Desa Kemiri Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo Tahun 2012, Makalah Tidak Diterbitkan.
Ujang Yana, Pembacaan Tiga Surat Al-Quran dalam Tradisi Tujuh Bulanan (di Masyarakat Selandaka Sumpiuh Banyumas), Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.
Yayuk Widyastuti Herawati, “Makna Komunikasi Simbolik ‘Memetri’ bagi Masyarakat Desa Kesamben Ngajum Kabupaten Malang”, Jurnal Inspirasi Pendidikan, Universitas Kanjuruhan Malang, t.th.
Yusno Abdullah Otta, Dinamisasi Tradisi Keagamaan Kampung Jawa Tondano di Era Modern, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6 No. 2 Tahun 2010: 387-418.




[1] Iswah Adriana, “Neloni, Mitoni atau Tingkeban: (Perpaduan Antara Tradisi Jawa dan Ritualitas Masyarakat Muslim)”, Jurnal Karsa, Vol. 19 No. 2 Tahun 2011, hlm. 242.
[2] Iswah Adriana, “Neloni, ..., hlm. 245.
[3] Yusno Abdullah Otta, Dinamisasi Tradisi Keagamaan Kampung Jawa Tondano di Era Modern, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6 No. 2 Tahun 2010, hlm. 404.
[4] Iswah Adriana, “Neloni, ..., hlm. 239.
[5] Duwi Fitrianasari, Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Mithoni di Desa Brani Kecamatan Sampang Kabupaten Cilacap, Skripsi IAIN Purwokerto, 2016, hlm. 2.
[6] Iswah Adriana, “Neloni, ..., hlm. 246
[7] Sesuai dengan penuturan langsung dari ibu Zakiyah
[8] Munafiah, Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Ritual Tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh Kec. Tengaran Kab. Semarang Tahun 2011, Skripsi STAIN Salatiga, 2011, hlm. 11.
[9] Ujang Yana, Pembacaan Tiga Surat Al-Quran dalam Tradisi Tujuh Bulanan (di Masyarakat Selandaka Sumpiuh Banyumas), Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014, hlm. 7.
[10] Wawancara dengan ibu Zakiyah tanggal 22 Nopember 2016
[11] Duwi Fitrianasari, Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Mithoni di Desa Brani Kecamatan Sampang Kabupaten Cilacap, Skripsi IAIN Purwokerto, 2016, hlm. 5-7
[12] Hasil observasi di rumah ibu Zakiyah tanggal 22 Nopember 2016
[13] Dinka Retnoningsih, Kajian Folklor Rangkaian Upacara Adat Kehamilan sampai dengan Kelahiran Bayi di Desa Borongan Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten, Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta, 2014, hlm. 34-35.
[14] Ujang Yana, Pembacaan Tiga Surat Al-Quran dalam Tradisi Tujuh Bulanan (di Masyarakat Selandaka Sumpiuh Banyumas), Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014, hlm. 14.
[15] Yusno Abdullah Otta, Dinamisasi Tradisi Keagamaan Kampung Jawa Tondano di Era Modern, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6 No. 2 Tahun 2010, hlm. 415.
[16] Duwi Fitrianasari, Internalisasi ......, hlm. 9