WALIMATUL HAMLI DALAM BALUTAN TRADISI
JAWA
(Studi Kasus di Keluarga Ibu Zakiyah Desa
Margoagung Kec. Sumberrejo Kab. Bojonegoro)
Jurnal Laporan Penelitian Lapangan
Disusun Guna Memenuhi Tugas UAS
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus
Jurusan Ushuluddin
Prodi Ilmu Qur’an & Tafsir
2016
Mata Kuliah :
Antropologi
Al-Quran
Dosen Pengampu : Efa Ida
Amaliyah, MA.
Oleh: Mohammad Salahuddin Al-Ayyuubi
NIM: 1330110015
Metodologi
Jenis Penelitian ini adalah kualitatif. Data diambil
langsung ke sumber primer dengan cara observasi dan wawancara di rumah keluarga
ibu Faridatuz Zakiyah yang tengah mengandung calon anak pertamanya. Adapun
pemaknaan terkait tradisi yang dilakukan diambil dari sumber data sekunder,
yakni penelitian terdahulu terkait tradisi kehamilan, mengingat keterbatasan
pemahaman keluarga si ibu hamil dalam memaknai prosesi yang dijalani. Foto
kegiatan walimah ataupun segala kelengkapannya (ubarampe) tidak
disajikan mengingat keterbatasan media yang dimiliki peneliti. Analisis data
menggunakan Pendekatan Fungsionalisme model Malinowski, berpadu dengan teori
internalisasi budaya.
Walimatul Hamli
dalam Islam
Allâh SWT menurunkan Islâm, yang
berisi aturan-aturan hidup yang sangat lengkap dan sempurna kepada kita. Dalam permasalahan penjagaan keselamatan anak (janin yang dikandung) dari gangguan setan (yang mereka
istilahkan ruh-ruh jahat dalam upacara adat
yang biasa dilakukan), jauh sebelum
kehamilan sang anak, Islâm telah menetapkan
tata cara yang baik dalam pergaulan suami istri. Islâm menuntunkan agar setiap hamba senantiasa berupaya
untuk terus mendekatkan dirinya kepada
Dzat yang telah menciptakannya dan
memberikan nikmat kepadanya. Karena itu yang paling utama untuk dilakukan oleh seorang ibu selama masa kehamilannya adalah memperbanyak taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allâh swt. dengan ibadah seperti shalat, do’a, dzikir dan membaca al-Qur’ân. Ini penting
sekali untuk menambah bekal keimanan
seorang ibu, yang dengan iman tersebut insya Allâh ia akan siap dalam menghadapi segala keadaan.[1]
Menurut Fazlurrahman, tradisi Islâm bisa terdiri dari elemen yg
tidak islami, yang tidak ada dasarnya
dalam alQur’ân dan al-Sunnah. Jadi perlu dibedakan antara Islâm itu sendiri, sejarah Islâm atau tradisi Islâm.
Ajaran Islâm yg termuat dalam al-Qur’ân
dan Hadîts adalah ajaran yang merupakan sumber asasi dan ketika sumber itu digunakan atau diamalkan dalam
suatu wilayah -sebagai pedoman kehidupan, maka bersamaan dengan itu tradisi setempat bisa saja mewarnai
penafsiran masyarakat lokalnya. Karena
penafsiran itu bersentuhan dengan teks suci,
maka simbol yang diwujudkannya juga
merupakan sesuatu yang sakral.[2]
Tradisi Jawa Terkait Kehamilan
Yusno
Abdullah Otta dalam
menggenapi pemikiran Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa dalam pandangan tradisionalis,
tradisi, beserta nilai dan ajarannya, bersifat perennial. Tradisi adalah, meminjam istilah Charles Taylor, sources of the
self, sebagai ‘sesuatu’ yang sulit untuk dilepaskan dari unsur universalitasnya. Tradisi dalam kehidupan sosial budaya menjadi bingkai bagi
setiap masyarakat dalam mengekspresikan kehidupan sosial mereka. Bangunan kehidupan sosial suatu masyarakat, hampir
bisa dipastikan, bersumber dari tradisi. Sehingga, tradisi digambarkan ibarat sebuah pohon rindang yang memberi naungan kepada siapa
saja yang datang untuk berteduh di bawahnya dari sengatan
terik matahari.[3]
Di beberapa daerah di Indonesia, proses kehamilan mendapat perhatian tersendiri bagi masyarakat
setempat. Harapan-harapan muncul terhadap
bayi dalam kandungan, agar mampu menjadi generasi yang handal dikemudian
hari. Untuk itu, dilaksanakan beberapa
tradisi yang dirasa mampu mewujudkan keinginan mereka terhadap anak tersebut. Diantara tradisi tersebut
adalah upacara neloni, mitoni/tingkeban. Neloni sendiri berasal dari kata telu
yang artinya tiga. Sedangkan mitoni
berasal dari kata pitu yang artinya tujuh Ini dimaksudkan bahwa neloni atau pun
mitoni/tingkeban adalah ritual yang dilaksanakan pada saat bayi menginjak usia tiga atau tujuh bulan dalam kandungan.[4]
Menimbang Porsi Akulturasi
Dua Budaya
Menurut Chafid dan Asror, ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat bila ajaran itu telah
mentradisi dan membudaya di tengah masyarakat Islam. Tradisi dan budaya menjadi sangat
menentukan dalam kelangsungan syiar Islam ketika tradisi dan budaya telah
menyatu dengan ajaran Islam. Karena tradisi dan budaya merupakan darah daging
dalam tubuh masyarakat, dan mengubah tradisi adalah sesuatu yang sangat sulit.
Maka suatu langkah bijak ketika tradisi dan budaya tidak diposisikan berhadapan
dengan ajaran, tetapi justru tadisi dan budaya sebagai pintu masuk ajaran
Islam, misalnya tradisi mithoni yang dilaksanakan oleh sebagian umat Islam di
Jawa.[5]
Islâm mengajarkan
kemurnian dalam berbagai segi
termasuk dalam manifestasi ajaranajaran Islâm, karena Islâm mempunyai komitmen (qâ’idah), "Jika sesuatu yang halal digabung
dengan yang haram maka akan
dimenangkan yang haram". Dalam
pandangan fiqh, tradisi budaya
acara tasyakuran tidaklah bertentangan dengan syarî’at Islâm, sebab tasyakuran tersebut termasuk salah satu jenis walîmah yang
dianjurkan oleh ajaran Islâm. Bila mitoni (dengan segala rangkai prosesinya) itu diyakini dan atau dikaitkan dengan agama, sehingga menyebabkan ketakutan jika tidak melaksanakannya, maka hal ini jelas menyimpang dari syariat Islâm. Karena Allâh tidak mensyariatkan hal tersebut sehingga akan mengarah pada upaya muhdatsatul umur atau menambahi agama dan tergolong bid'ah yang sesat. Akan tetapi, jika acara ini tidak diyakini sebagai bagian dari ibadah maka para ulama mempunyai pendapat yang berbeda. Sebagian ulama melarang jenis ritual seperti ini, karena tidak ada syarî’at yang mendasarinya. Tujuannya tak lain untuk membendung rusaknya agama.[6]
Perubahan Tradisi Jawa, Studi Kasus di Desa Margoagung
Zakiyah adalah seorang ibu muda yang mengenyam pendidikan
tinggi dan dididik dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan tinggal di
Desa Margoagung yang mayoritas penduduknya keturunan Jawa asli. Memasuki masa
kehamilan empat bulan, Ia bingung memilih antara melaksanakan tasyakkuran
kehamilannya sebagaimana yang diajarkan oleh Islam –yakni menyambut ditiupnya
ruh saat janin usia 120 hari atau empat bulan- atau menyesuaikan dengan tradisi
leluhur Jawa yang lebih menekankan slametan tujuh bulan alias mitoni.
Pasalnya, ibu Zakiyah tidak berkecukupan bilamana melaksanakan keduanya
sekaligus. Maka diambillah jalan tengah, yakni dilakukan pada hari Rabu Pahing
pertama setelah sempurna empat bulan kehamilannya.[7]
Pemilihan hari Rabu Pahing berdasar pada hari pasaran
kelahirannya dulu, yang mana hal ini berarti merangkap bancakan weton. Hal
ini wajar, karena sesuai dengan pendapatnya Dhanu Priyo Prabowo bahwa Semua perilaku orang Jawa selalu bertumpu pada
keyakinan yang bersifat religius. Rasa religius itu dapat dilihat dalam tradisi
Jawa yang berhubungan dengan kelahiran, kematian atau dalam kehidupan
keseharian seperti bercocok tanam, mendirikan bangunan rumah, memulai suatu kerja penting dan sebagainya. Dalam keadaan seperti itu, orang Jawa selalu
melakukannya dengan dasar perhitungan yang cermat dengan landasan keyakinan supranatural sejalan dengan perkembangan dan perjalanan paham ketuhanan masyarakat Jawa (sejak zaman animisme, Hindu, Budha, Islam dan sebagainya, hingga berkembang menjadi kepercayaan yang dinamakan Kejawen.[8]
Berbeda dengan masyarakat di Desa Selandaka Sumpiuh
Banyumas yang dalam ritual tujuh bulan kehamilan dibacakan tiga surat, yakni
Yusuf, Luqman dan Maryam[9],
maka di Margoagung hanya populer pembacaan dua surat saja mengecualikan Luqman,
dengan motivasi agar sang anak kelak setampan Nabi Yusuf bila lahir laki-laki
atau secantik Maryam bila perempuan. Khusus di keluarga ibu Zakiyah, si ibu
hamil lebih memfokuskan diri membaca surat Yusuf sebab jenis kelamin janin
diyakini laki-laki berdasar penuturan dukun bayi setempat serta hasil USG yang
telah dilakukan. Adapun pembacaan surat Yusuf tersebut dilakukan setiap hari sejak
awal kehamilan dan lebih seringnya setelah salat maktubah yang waktunya cukup
longgar. Sedangkan dalam ritual walimatul hamli tidak ada pengulangan membaca
baik oleh si ibu hamil maupun tamu dan tetangga yang diundang. Pembacaan surat
Yusuf oleh si ibu hamil juga termotivasi agar lebih sering berinteraksi dan
berkomunikasi dengan si janin sehingga sang ibu juga tidak terlalu stres sebab
kondisi tubuhnya yang sering labil.
Walaupun yang dikandung adalah anak pertama, tradisi Jawa
seperti siraman air kembang dan penyiapan batik tujuh motif tidak dilakukan.
Alasan yang paling utama tidak diadakannya siraman adalah kesadaran religius si
ibu hamil bahwa selain mubazir, prosedur siraman yang biasanya dilakukan di
luar rumah dengan berbalut kain jarik saja dan ditonton banyak orang
bisa menimbulkan dosa sebab telah mengumbar aurat si ibu hamil.[10]
Alasan religiusitas tersebut benar adanya karena beberapa
waktu sebelumnya ada tetangga yang melakukan ritual siraman sebab tingkat
pemahaman agama yang berbeda dengan keluarga ibu Farida yang kesemuanya pernah
mengenyam pendidikan madrasah ataupun pesantren. Adapun alasan tidak
dilaksanakannya penyiapan tujuh macam kain batik lebih disebabkan karena
tradisi tersebut sudah tak begitu populer di sekitar lokasi. Hal ini bisa dan sangat mungkin terjadi
karena sebagaimana ditulis oleh Duwi Fitrianasari bahwa seiring perkembangan zaman menuju pada era dimana
masyarakat mulai berfikir secara logis dan ilmiah serta meninggalkan hal-hal yang bersifat mistisme, tradisi pun mulai mengalami perubahan
bahkan terkadang dilupakan. Hal ini dikarenakan tradisi Jawa yang notabene
memiliki aturan-aturan
yang detail dan penuh ritual membuat masyarakat modern yang terkenal dengan masyarakat logis dan senang dengan hal-hal yang praktis mulai meninggalkan beberapa aturan dalam sebuah
tradisi atau bahkan tidak memperhatikan tradisi dalam segi kehidupan mereka. Akibatnya, pengetahuan
mengenai makna simbol yang terdapat pada upacara mithoni sedikit banyak
berkurang dan bahkan banyak yang masyarakat menjalankan tradisi mithoni akan
tetapi tidak mengetahui makna yang tersirat dibalik simbol-simbol dalam tradisi
mithoni.[11]
Adapun terkait kelengkapan slametan
(ubarampe) yang disiapkan keluarga ibu Zakiyah bersamaan dengan
walimatul hamli adalah: (1) Bubur putih dengan gula merah cair yang beralaskan
daun pisang, (2) Pasung berbungkus daun nangka, (3) rujak buah yang beralaskan
dua buah cobek, (4) nasi aking atau karak di atas nampan ambengan, (5) tumpeng
berbungkus daun pisang tujuh buah yang berisi telur ayam kampung rebusan, (6)
air dalam dua cawan berpenutup daun talas, serta (7) nasi kebuli kuning beserta
ingkungnya.[12] Yang
cukup menarik tentunya adalah penyembunyian telur ayam kampung di dalam tumpeng
yang berdasar pada kepercayaan bahwa siapa saja dari tamu undangan yang belum
memiliki anak, bisa ‘mencuri’ telur tersebut agar istrinya segera bisa hamil.
Kemustajaban berkah telur tersebut hanya bila dilakukan pengambilannya tanpa
ketahuan oleh si tuan rumah, misalnya saat membagi ambengan. Jika
prosesnya dengan meminta atau dengan izin yang punya hajat malah tidak makbul.
Hal ini tentunya sangat jauh dari kata ilmiah dan rawan bertentangan dengan
syariat.
Menilik jenis ubarampe yang disiapkan
di atas bisa dilihat bahwa ada beberapa kelengkapan slametan dalam tradisi Jawa
asli yang tidak diikutkan, di antaranya adalah sesajen ‘memetri’ yang mestinya
disebarkan di tempat-tempat sekitar yang dianggap keramat atau di perempatan
jalan.[13]
Selain itu juga tidak ada jajan ‘anak-anakan’ sepasang dikarenakan pemahaman
keluarga ibu Zakiyah bahwa membuat apapun yang menyerupai fisik makhluk hidup
(apalagi manusia) dilarang dalam Islam. Dengan kata lain, yang disiapkan
sebagai kelengkapan slametan walimatul hamli ibu Zakiyah adalah yang menurutnya
bermanfaat.
Malinowski lewat pendekatan fungsionalisme yang
digagasnya menganggap semua unsur kebudayaan itu akan bermanfaat bagi
masyarakat setempat karena fungsi dalam satu unsur budaya adalah untuk memenuhi
beberapa kebutuhan masyarakat itu sendiri.[14]
Dengan pelaksanaan ritual tertentu, kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi. Sama
halnya dengan prosesi walimatul hamli dalam balutan tradisi Jawa yang diadakan
oleh keluarga ibu Zakiyah dan tampaknya memang dilatarbelakangi oleh manfaat spiritual-sosial
yang dirasakan dan kepercayaan bahwa nulayani adat bisa menyebabkan
ketidakharmonisan dengan tetangga sekitar. Tradisi Jawa dilakukan dan
dipertahankan hanya jika tidak bertentangan dengan syariat Islam. Buktinya,
sesaji ataupun kemenyan yang biasanya juga disebarkan di beberapa tempat
sekitar rumah dalam tradisi Jawa asli nyatanya tidak disiapkan oleh keluarga
ibu Zakiyah. Perubahan tradisi tersebut menurutnya karena faktor adanya
kesadaran spiritual, tentunya tanpa mengabaikan alasan kepraktisan ala
masyarakat modern.
Eksistensi tradisi Jawa di Desa Margoagung tersebut hampir
senada dengan yang terdeteksi di Kampung Jawa Tondano. Dalam penelitiannya, Yusno Abdullah Otta menyatakan
bahwa arus modernisasi, pada kenyataannya tidak banyak memberikan pengaruh signifikan
bagi masyarakat Kampung Jawa Tondano
dalam melestarikan tradisi-tradisi keagamaan mereka. Semua tradisi di Kampung Jawa Tondano ini hingga sekarang masih dilaksanakan secara konsisten oleh warganya. Meskipun, terdapat beberapa perubahan dalam pelaksanaan tradisi tertentu, akan tetapi perubahan tersebut tidak sampai menyentuh ranah substansial. Bagi warga, tidak ada halangan yang menjadi alasan untuk tidak melaksanakan tradisi-tradisi tersebut, meskipun dalam setiap pelaksanaannya hanya dihadiri oleh generasi tua. Karena, mereka telah merasakan manfaat tradisi-tradisi tersebut
sebagaimana yang telah dirasakan oleh para pendahulu mereka pada masa-awal keberadaan
mereka di tanah asing, Tondano, Minahasa. Karenanya, bagi warga Kampung Jawa, tradisi keagamaan bukan saja
menjadi simbol identitas mereka sebagai Muslim, akan tetapi tradisi-tradisi
keagamaan tersebut merupakan symbol kerukunan antara
warga Kampung sendiri serta dengan warga masyarakat yang
berdomisili di sekitar Kampung.[15]
Internalisasi
Internalisasi adalah penghayatan terhadap suatu
ajaran, doktrin atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan
kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Secara
etimologis, internalisasi menunjukkan suatu
proses. Dalam kaidah bahasa Indonesia, internalisasi berarti
proses. Selanjutnya Internalisasi diartikan sebagai penghayatan, pendalaman,
penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui binaan, bimbingan dan
sebagainya. Pengertian lain Internalisasi yang lebih sederhana adalah
penyerapan dan penghayatan. Internalisasi merupakan upaya penghayatan nilai ke
dalam diri seseorang sehingga akan
membentuk watak dan perilakunya.[16] Dalam kasus ini ibu Zakiyah sebagai seorang
pemeluk Agama Islam sekaligus bersuku Jawa telah melakukan internalisasi
tradisi masing-masing dengan mempraktekkannya dalam satu kesempatan sekaligus.
Walimah yang dalam Islam hanya identik dengan mengundang tetangga sekitar dalam
rangka doa dan makan bersama, dibalut dengan kearifan lokal yang diteladankan
turun temurun. Berdasar yang dipahami oleh ibu Zakiyah bahwa tradisi Jawa kuno sangat
dipengaruhi oleh budaya (agama) Hindu serta kepercayaan lokal
animisme-dinamisme, maka unsur-unsur yang terkait dengan budaya non-Islami
tersebut harus ditinggalkan sehingga tercapailah kompromi dua tradisi yang
tidak bertentangan, yakni Islam dan Jawa.
Simpulan
Istilah neloni, mitoni atau
pun tingkeban tidak ditemukan dalam Islâm, kecuali istilah walîmatul haml. Tasyakuran walîmat al-haml lebih afdhol jika dilaksanakan pada saat usia kehamilan sang ibu menginjak bulan keempat dan ritual tersebut dapat dibenarkan selama masih berdasar
pada nilai-nilai agama Islâm, seperti pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’ân, pembacaan doa dan sebagainya.
Dalam rangka
mengambil jalan tengah pelaksanaan tasyakkuran kehamilan anak pertamanya, ibu
Zakiyah mengadakan walimatul hamli setelah habis masa empat bulan kehamilan
awal dengan mengundang tetangga sekitar untuk doa bersama dengan cara Islam.
Adapun unsur tradisi Jawa yang diinternalisir adalah 1) waktu slametan, yakni
malam Rabu Pahing disesuaikan dengan tiron (hari pasaran lahir) si ibu
hamil; 2) sajian untuk tamu meliputi: bubur, pasung, rujak , karak, tumpeng
berisi telur, air beserta daun talas, dan nasi kebuli kuning. Penjagaan tradisi
Jawa tersebut dilakukan sebab ibu Zakiyah merasa mendapat manfaat spiritual-sosial,
yakni mempererat kerukunan warga, khususnya yang dilibatkan dalam slametan baik
sebagai tamu undangan maupun tenaga bantu masak dalam persiapan kelengkapan
slametan.
Dalam
penakaran porsi akulturasi, yang diunggulkan oleh keluarga ibu Zakiyah adalah
tradisi Islam, bahkan pembacaan surat Yusuf dilakukan setiap hari oleh calon
ibu. Adapun tradisi Jawa hanya dipilih yang sekiranya tidak berkesan mubazir
dan tidak menentang syariat Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Aldy
Selania Muhammad Daniel Safira, Tradisi Mapati dan Mitoni Masyarakat Jawa Islam,
Proceeding the 5th International Conference on Indonesian Studies: Ethnicity
and Globalization, t.th, hlm. 21-31.
Dinka
Retnoningsih, Kajian Folklor Rangkaian Upacara Adat Kehamilan sampai dengan
Kelahiran Bayi di Desa Borongan Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten,
Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta, 2014.
Duwi
Fitrianasari, Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi
Mithoni di Desa Brani Kecamatan Sampang Kabupaten Cilacap, Skripsi IAIN
Purwokerto, 2016.
Iswah
Adriana, “Neloni, Mitoni atau Tingkeban: (Perpaduan Antara Tradisi Jawa dan
Ritualitas Masyarakat Muslim)”, Jurnal Karsa, Vol. 19 No. 2 Tahun 2011:
237-247.
Munafiah,
Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Ritual Tingkepan di Dusun Gintungan Desa
Butuh Kec. Tengaran Kab. Semarang Tahun 2011, Skripsi STAIN Salatiga, 2011.
Nurul
Fitroh, Ritual Tingkeban dalam Perspektif Aqidah Islam (Studi Kasus di
Kelurahan Srondol Kulon Kecamatan Banyumanik Kota Semarang), Skripsi UIN
Walisongo, 2014.
Robert
Tajuddin, Agus Trilaksana, “Analisa Perubahan Tradisi Ritual Sedekah Bumi di Kota
Metropolitan Surabaya: Analisa Perubahan Tradisi Ritual Sedekah Bumi di Dusun
Jeruk Kelurahan Jeruk Kecamatan Lakarsantri Kota Surabaya Tahun 1990-2014”, Avatara
e-Journal, Vol. 3 No. 3 Oktober 2015: 429-439.
Siti
Nur Laila, Relevansi Tradisi Tingkeban terhadap Hukum Islam di Desa Kemiri
Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo Tahun 2012, Makalah Tidak
Diterbitkan.
Ujang
Yana, Pembacaan Tiga Surat Al-Quran dalam Tradisi Tujuh Bulanan (di
Masyarakat Selandaka Sumpiuh Banyumas), Skripsi UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014.
Yayuk
Widyastuti Herawati, “Makna Komunikasi Simbolik ‘Memetri’ bagi Masyarakat Desa
Kesamben Ngajum Kabupaten Malang”, Jurnal Inspirasi Pendidikan, Universitas
Kanjuruhan Malang, t.th.
Yusno
Abdullah Otta, Dinamisasi Tradisi Keagamaan Kampung Jawa Tondano di Era Modern,
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6 No. 2 Tahun 2010: 387-418.
[1] Iswah Adriana, “Neloni, Mitoni atau Tingkeban:
(Perpaduan Antara Tradisi Jawa dan Ritualitas Masyarakat Muslim)”, Jurnal
Karsa, Vol. 19 No. 2 Tahun 2011, hlm. 242.
[2] Iswah Adriana, “Neloni, ..., hlm. 245.
[3] Yusno Abdullah Otta, Dinamisasi Tradisi Keagamaan
Kampung Jawa Tondano di Era Modern, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6
No. 2 Tahun 2010, hlm. 404.
[4] Iswah Adriana, “Neloni, ..., hlm. 239.
[5] Duwi Fitrianasari, Internalisasi Nilai-Nilai
Pendidikan Islam dalam Tradisi Mithoni di Desa Brani Kecamatan Sampang
Kabupaten Cilacap, Skripsi IAIN Purwokerto, 2016, hlm. 2.
[6] Iswah Adriana, “Neloni, ..., hlm. 246
[7] Sesuai dengan penuturan langsung dari ibu Zakiyah
[8] Munafiah, Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam
Ritual Tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh Kec. Tengaran Kab. Semarang
Tahun 2011, Skripsi STAIN Salatiga, 2011, hlm. 11.
[9] Ujang Yana, Pembacaan Tiga Surat Al-Quran dalam
Tradisi Tujuh Bulanan (di Masyarakat Selandaka Sumpiuh Banyumas), Skripsi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014, hlm. 7.
[10] Wawancara dengan ibu Zakiyah tanggal 22 Nopember
2016
[11] Duwi Fitrianasari, Internalisasi Nilai-Nilai
Pendidikan Islam dalam Tradisi Mithoni di Desa Brani Kecamatan Sampang
Kabupaten Cilacap, Skripsi IAIN Purwokerto, 2016, hlm. 5-7
[12] Hasil observasi di rumah ibu Zakiyah tanggal 22
Nopember 2016
[13] Dinka Retnoningsih, Kajian Folklor Rangkaian
Upacara Adat Kehamilan sampai dengan Kelahiran Bayi di Desa Borongan Kecamatan
Polanharjo Kabupaten Klaten, Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta, 2014,
hlm. 34-35.
[14] Ujang Yana, Pembacaan Tiga Surat Al-Quran dalam
Tradisi Tujuh Bulanan (di Masyarakat Selandaka Sumpiuh Banyumas), Skripsi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014, hlm. 14.
[15] Yusno Abdullah Otta, Dinamisasi Tradisi Keagamaan
Kampung Jawa Tondano di Era Modern, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6
No. 2 Tahun 2010, hlm. 415.
[16] Duwi Fitrianasari, Internalisasi ......,
hlm. 9