Minggu, 15 Januari 2012

Cicak, Tokek dan Laba-laba

musim laron tiba. tiap malam berbagai macam lampu (TL, hemat energi, neon dll) menjadi sarana tahlilan para laron. di atas dinding, cicak-cicak kecil bersilweran di wilayah kekuasaan masing-masing, memungut rizki yang hinggap di sekitar. ada seekor tokek tiba-tiba membelah arus dan dengan mudahnya melahap menu favoritnya itu, tak peduli pada ekornya yang buntung. mungkin buah kejahilan anak-anak yang menyentilnya dengan karet gelang hingga putus ekornya. no problem, yang penting masih bisa makan. tak jauh dari situ, di sekitar pepohonan matoa yang tumbuh subur, telah terpintal rapi beberapa jaring laba-laba. tak ada penghuninya, tapi beberapa serangga malam termasuk para laron telah terperangkap.
apa ada yang aneh? kan sudah biasa pemandangan seperti itu, apalagi di pedesaan? tak ada yang aneh memang. tapi saat itu, aku tengah membayangkan diriku menjadi sang tokek yang dengan manuvernya bisa membuat keder para cicak karena mungking merasa tersaingi. aku bukannya tak sempat mengimajikan diriku jadi cicak ataupun laba-laba, tapi aku tak suka.

ahad pagi hari itu, sehabis jam istirahat sekolah, aku nekat pergi ke kota, meninggalkan pelajaran biasa pada jam-jam aku mulai mengantuk lemas, demi sebuah pelajaran lain yang mesti aku ikuti pagi itu di meeting room sebuah cafe di kota, atas saran seorang teman yang baru aku jumpai beberapa hari sebelumnya. pelajaran yang bahkan tak bisa aku dapatkan dari guru biologi (pak mustam) ataupun guru ekonomi (pak surono), yakni menjadi laba-laba. pelajaran tentang cara menjadi laba-laba dan cara membuat jaring yang ampuh untuk memangsa. istilah ekonominya networking. sejak dasawarsa lampau, orang sering mempopulerkannya dengan sebutan MLM (multilevel marketing).

lewat perenungan sekilas tadi, aku baru menyadari kenapa aku tak langsung menerjuni bidang networking selepas pelatihan dulu. mungkin karena aku tak suka jadi laba-laba. pendapatan pasif dari jejaring yang disebar memang menjanjikan hasil tanpa usaha banting tulang. filosofi bahwa laba-laba bisa berbuat sesuatu lain yang lebih bermanfaat dibanding hanya "mencari makan" memang terlihat menggiurkan buatku. tapi, seketika juga aku teringat ayat dalam surat al-ankabuut: "sesungguhnya rumah yang paling rapuh adalah rumah laba-laba". dan aku agak kurang senang dengan posisi laba-laba yang terlihat begitu menikmati hidup dengan hanya bersemedi dan mengandalkan pendapatan pasifnya, seolah-olah rizki sudah pasti didapat dari jaring tersebut.

sedangkan cicak lebih dianalogikan dengan karyawan. yang pasti jangkahnya sempit dan tak punya cukup keberanian untuk hanya berpindah tempat dan mendapat makan di tempat kawan. mereka, para cicak itu terlalu konservatif pada pekerjaannya. memforsir tenaga sekuat-kuatnya sehingga paradoks dengan laba-laba, terlihat sekali sepertinya para karyawan itu hanya mementingkan "mencari makan".

tentu beda persepsi ketika saya melihat tokek. tokek yang berbadan dan berkemauan besar bisa dengan mudahnya traveling dan menjelajah daerah para cicak tanpa sedikitpun berusaha mengganggu mereka, dengan tujuan jalan-jalan plus. plus karena jika ada makanan lewat (seperti para laron) tak kan dibiarkan mubadzir kan? jadi, tanpa mengurangi rasa hormat kepada para cicak dan laba-laba, saya hanya akan memilih jadi "tokek" untuk mengisi masa depan. karena tokek bukanlah tipe konservatif tapi juga bukan pengandal passive income.

semoga saya bisa menyusul ke gerbong depan, duduk bersama para pelaku bisnis internasional layaknya pak ciputra ataupun marketer handal seperti hermawan kartajaya. kalau tidak, minimal bisa mencontoh pak dahlan, yang berjibaku dengan dunia jurnalis lebih dahulu untuk kemudian menjadi trendsetter kepemimpinan model baru yang bisa me-manufacture hope-nya para abdi negara. semoga. insyaallah. amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar