saya pernah makmum sholat berjamaah pada seorang teman yang kapasitas "keimamannya" diragukan banyak teman yang lain, karena seringnya dia menggoda dan menjahili teman yang sedang sholat, bahkan ketika dia sendiri sedang sholat kala menjadi makmum. selain itu, bacaannya juga sering tak sempurna, tak sefasih teman santri lainnya. toh akhirnya dia tetap jadi imam dan saya jadi makmum, karena jadwal sudah ditetapkan, tak boleh dirubah. sampai akhir sholat, kulihat bacaan dan gerakan sholatnya standar pada umumnya orang sholat. tidak ada yang janggal. yang penting kan sang imam tetap pada koridor yang membuat sholatnya dan keimamannya tetap sah. masalah keilmuan dan kadar keimanannya sudah di luar tanggung jawab kita selaku makmum. tak sepantasnya kita menilai dari aspek tersebut, karena Allah jauh lebih tahu dari siapapun.
khawatir saja jika kita salah menilai seperti misalnya tatkala kita melihat buruknya kiai yang meninggal di gardu tempat para bandar remi dan malah memuji koruptor yang mati di musholla. kenyataannya, sang kiai berusaha menyadarkan para bandar remi hingga tiba-tiba penyakit jantungnya kumat dan meninggal seketika. sedangkan si koruptor kebelet kencing melihat musholla dan malah meninggal karena terpeleset di toilet.
alangkah tidak bijaksana jika kita memutuskan mufaroqoh dari jamaah hanya karena melihat imam sholat dengan gaya Muhammad Romli sedangkan kita terlanjur fanatik dengan ajaran Ibnu Hajar Alhaitamy.
yang perlu kita renungkan, lebih bijak manakah dengan kita yang hanya rakyat kecil dan awam perpolitikan ikut-ikutan mengkritik habis-habisan pemerintahan pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang cenderung lamban dan menyuarakan pemakzulan, sementara kita hanya duduk diam di rumah tidak bekerja dan hanya mengharap datangnya bantuan langsung tunai (BLT)?
bagaimana jika tiba-tiba SBY mendatangi anda, mundur dari kursi kepresidenan lantas menyerahkannya kepada anda seketika itu, apakah anda siap dan mampu?
biarlah SBY beserta para staf pemerintahannya dan juga para oposan yang menghidupkan check & balance perpolitikan di negeri indonesia ini. karena saya yakin, mereka sudah mumpuni dan jauh lebih unggul dari kita dalam hal siyasah jumhuriyyah. selama para imam tersebut tetap berjalan pada korisor pemerintahan yang sesuai dengan syara', kita wajib jadi makmum yang setia. bukan makmum yang fanatik terhadap semua kebijakan publik yang dilakukan penguasa, tetapi menjadi makmum yang siaga dan waspada, kalau saja sang pemimpin sudah lupa "rukun" dan "syarat sah" kepemimpinannya. saat itu tibalah waktunya kita menggemakan "tasbih" untuk para "lelaki" atau "menepukkan tangan" untuk para "wanita" hinga pada "sujud sahwi" tentunya.
dan nantinya ketika hal-hal tersebut sudah tak relevan, karena sang pemimpin sudah "buta" dan "tuli", opsi mufaroqoh mungkin perlu dilakukan. tapi, sepertinya itu bukan sekarang. belum saatnya, friends..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar