teman-teman sampai heran. mengapa aku sampai detail ngurusin ha-hal sunnah. saya sih menanggapinya biasa-biasa saja. lha wong saya sudah biasa begitu. pakai sandal kanan dulu dan lepas kiri dulu. baca basmalah tiap mulai makan, minum dengan duduk. shalat witir mengiringi shalat ba'diyyah isya'. puasa senin & kamis serta ayyamul bidh. teori saya sederhana saja. kita umpamakan diri kita sebagai salah satu pembantu dari ratusan pembantu di sebuah rumah milik miliarder baik hati. jika kita sudah melakukan tugas yang telah diberikan dengan baik, pasti akan diberi upah semestinya. tapi jika kita menambahinya dengan melakukan hal-hal yang disenangi tuan, pastilah perhatian dia pada kita berbeda dari pembantu lainnya.
nah, kalau kita mengaku hamba Allah maka kita harus melakukan hal-hal yang ditugaskan kepada kita, dalam artian ibadah yang wajib seperti shalat maktubah lima waktu, puasa ramadhan, zakat dan lain sebagainya. itu sudah cukup dan kita sudah bebas dari taklif (tanggungan) seorang hamba selama kita juga menjauhi larangannya. ridlo Allah memang diperuntukkan untuk para hamba yang telah menunaikan kewajiban dengan baik.tapi bagi siapa yang menambahi dengan nafilah dan kesunahan, akan mendapat nilai plus: cinta Tuhan dan rasul-Nya. dan siapa pula yang tak mau dicintai Tuhan dan rasul-Nya?
kalau ada teman yang gemas melihat saya jalan kaki lebih sering menundukkan kepala, tidak melihat dia yang sedang berbicara, saya jawab saja dengan enteng: saya hanya tidak mau ada semut terinjak gara-gara keangkuhan saya berjalan. penjelasan yang cukup dibandingkan saya harus menjelaskan dalil qur'an dan haditsnya lalu dia malah jengkel dan menganggap saya sok kiai atau sok alim. aduh, capek deh. padahal membuat marah orang lain itu sudah saya sobek dari kamus saya.
ada lagi teman yang lebih rajin dari saya menyindir, kok tidak puasa dalail saja seperti kebiasaan para santri penghapal qur'an lain? kan pahala puasa nadzar lebih banyak dari pahala puasa sunnah seperti senin-kamis. iya memang benar. masalahnya saya tidak begitu fokus pada pahalanya. lagipula saya merasa belum pada taraf "penghobi wajib". saya hanya taraf pemula para "penghobi sunnah". dan belum waktunya juga naik kelas, karena kesunnahan yang saya lakukan pun belum bisa istiqomah. nyata-nyatanya banyak hal sunnah yang belum saya kerjakan seperti mengucap salam kala bertemu saudara muslim.
saya hanya menerapkan prinsip kehidupan dari analogi fiqhiyah yang diajarkan ustadz saya: "maa laa yudroku kulluh laa yutroku kulluh". apa-apa yang tidak bisa dikerjakan semua, tak bisa (tidak boleh) ditinggalkan semua. selama kita belum bisa melakukan kewajiban dan kesunnahan seluruhnya, alangkah baiknya kita mencicil satu persatu yang kita mampu dan kita sukai. bukan malah meninggalkan semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar